Rabu, 06 Februari 2008

Kriminalitas di Internet

Kriminalitas di Internet


Sebagaimana lazimnya pembaharuan teknologi, internet selain memberi manfaat juga menimbulkan ekses negatif dengan terbukanya peluang penyalahgunaan teknologi tersebut. Hal itu terjadi pula untuk data dan informasi yang dikerjakan secara elektronik.

Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang luas.

Menurut Edmon Makarim (2001: 12) kriminalitas di internet atau cybercrime pada dasarnya adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan cyberspace, baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace atupun kepemilikan pribadi.

Jenis-jenis kejahatan di internet terbagi dalam berbagai versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa kejahatan ini terbagi dalam dua jenis, yaitu kejahatan dengan motif intelektual. Biasanya jenis yang pertama ini tidak menimbulkan kerugian dan dilakukan untuk kepuasan pribadi. Jenis kedua adalah kejahatan dengan motif politik, ekonomi, atau kriminal yang potensial enimbulkan kerugian bahkan perang informasi.

Versi lain membagi cybercrime menjadi tiga bagian yaitu pelanggaran akses, pencurian data, dan penyebaran informasi untuk tujuan kejahatan.

Secara garis besar, ada beberapa tipe cybercrime, seperti dikemukakan Philip Renata dalam suplemen BisTek Warta Ekonomi No. 24 edisi Juli 2000, h.52 yaitu:

a. a. Joy computing, yaitu pemakaian komputer orang lain tanpa izin. Hal ini termasuk pencurian waktu operasi komputer.

b. b. Hacking, yaitu mengakses secara tidak sah atau tanpa izin dengan alat suatu terminal.

c. c. The Trojan Horse, yaitu manipulasi data atau program dengan jalan mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus , menambah, menjadikan tidak terjangkau dengan tujuan untuk kepentingan pribadi pribadi atau orang lain.

d. d. Data Leakage, yaitu menyangkut bocornya data ke luar terutama mengenai data yang harus dirahasiakan. Pembocoran data komputer itu bisa berupa berupa rahasia negara, perusahaan, data yang dipercayakan kepada seseorang dan data dalam situasi tertentu.

e. e. Data Diddling, yaitu suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara tidak sah, mengubah input data, atau output data.

f. f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.

g. g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI.

Dari ketujuh tipe cybercrime tersebut, nampak bahwa inti cybercrime adalah penyerangan di content, computer system dan communication system milik orang lain atau umum di dalam cyberspace (Edmon Makarim, 2001: 12).

Pola umum yang digunakan untuk menyerang jaringan komputer adalah memperoleh akses terhadap account user dan kemudian menggunakan sistem milik korban sebagai platform untuk menyerang situs lain. Hal ini dapat diselesaikan dalam waktu 45 detik dan mengotomatisasi akan sangat mengurangi waktu yang diperlukan (Purbo, dan Wijahirto, 2000: 9).

Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya. Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Bisa dipastikan dengan sifat global internet, semua negara yang melakukan kegiatan internet hampir pasti akan terkena impas perkembangan cybercrime ini.

Berita Kompas Cyber Media (19/3/2002) menulis bahwa berdasarkan survei AC Nielsen 2001 Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di Asia dala tindak kejahatan di internet. Meski tidak disebutkan secara rinci kejahatan macam apa saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat dalam kejahatan tersebut, hal ini merupakan peringatan bagi semua pihak untuk mewaspadai kejahatan yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna teknologi informasi (Heru Sutadi, Kompas, 12 April 2002, 30).

Menurut RM Roy Suryo dalam Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001 h.12, kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan modusnya, yaitu:

1. 1. Pencurian Nomor Kredit.

Menurut Rommy Alkatiry (Wakil Kabid Informatika KADIN), penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan dengan dunia bisnis internet di Indonesia.

Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau on-line. Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di berbagai tempat (restaurant, hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di internet.

2. 2. Memasuki, Memodifikasi, atau merusak Homepage (Hacking)

Menurut John. S. Tumiwa pada umumnya tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan memberitahukan kepada pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem perbnkan dan merusak data base bank

3. 3. Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming.

Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui e-mail. Menurut RM Roy M. Suryo, di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang ada belum menjangkaunya.

Sementara itu As’ad Yusuf memerinci kasus-kasus cybercrime yang sering terjadi di Indonesia menjadi lima, yaitu:

a. Pencurian nomor kartu kredit.

a. b. Pengambilalihan situs web milik orang lain.

b. c. Pencurian akses internet yang sering dialami oleh ISP.

c. d. Kejahatan nama domain.

d. e. Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya.

Khusus cybercrime dalam e-commerce, oleh Edmon Makarim didefinisikan sebagai segala tindakan yang menghambat dan mengatasnamakan orang lain dalam perdagangan melalui internet. Edmon Makarim memperkirakan bahwa modus baru seperti jual-beli data konsumen dan penyajian informasi yang tidak benar dalam situs bisnis mulai sering terjadi dalam e-commerce ini.

Menurut Mas Wigrantoro dalam BisTek No. 10, 24 Juli 2000, h. 52 secara garis besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:

a. Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.

b. On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.

c. Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.

d. Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.

e. Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

Saat ini di Indonesia sudah dibuat naskah rancangan undang-undang cyberlaw yang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan dan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung bekerja sama dengan Departemen Pos dan telekomunikasi. Hingga saat ini naskah RUU Cyberlaw tersebut belum disahkan sementara kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan kriminalitas di internet terus bermunculan mulai dari pembajakan kartu kredit, banking fraud, akses ilegal ke sistem informasi, perusakan web site sampai dengan pencurian data.

Saat ini regulasi yang dipergunakan sebagai dasar hukum atas kasus-kasus cybercrime adalah Undang-undang Telekomunikasi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, interpetasi yang dilakukan atas pasal-pasal KUHP dalam kasus cybercrime terkadang kurang tepat untuk diterapkan. Oleh karena itu urgensi pengesahan RUU Cyberlaw perlu diprioritaskan untuk menghadapi era cyberspace dengan segala konsekuensi yang menyertainya termasuk maraknya cybercrime belakangan ini.

Penulis adalah mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM Yogyakarta

Jl. Kauman GM I No. 74

Yogyakarta – 55122

e-mail: esthermagfirah@yahoo.com

estherdm@plasa.com

Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce

OLEH

ESTHER DWI MAGFIRAH

Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) telah memprediksikan bahwa di era milenium ketiga, teknologi akan memegang peranan yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ini akan mengimplikasikan berbagai perubahan dalam kinerja manusia.

Salah satu produk inovasi teknologi telekomunikasi adalah internet (interconection networking) yaitu suatu koneksi antar jaringan komputer. Aplikasi internet saat ini telah memasuki berbagai segmen aktivitas manusia, baik dalam sektor politik, sosial, budaya, maupun ekonomi dan bisnis.

Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan melalui media internet ini populer disebut dengan electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu business to business e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).

Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculmya situs http:// www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai

bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.

Salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan e-commerce. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan infrastruktur, ketiadaan undang-undang , jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia bisa diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata e-commerce itu (Info Komputer edisi Oktober 1999: 7).

Bagaimanapun, kompetensi teknologi dan manfaat yang diperoleh memang seringkali harus melalui proses yang cukup panjang. Namun mengabaikan pengembangan kemampuan teknologi akan menimbulkan ekses negatif di masa depan. Keterbukaan dan sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi. Learning by doing adalah alternatif terbaik untuk menghadapi fenomena e-commerce karena mau tak mau Indonesia sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Meski belum sempurna , segala sarana dan pra-sarana yang tersedia dapat dimanfaatkan sambil terus direvisi selaras dengan perkembangan mutakhir.

Dalam bidang hukum misalnya, hingga saat ini Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan e-commerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornamen utama dalam bisnis.

Dengan tiadanya regulasi khusus yang mengatur mengatur perjanjian virtual, maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut akan diatur oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku.

Hukum perjanjian Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerd. Asas ini memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan demikian para pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara mereka.

Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat.

Didalam hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur sesutu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu.

Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHPerd, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUHPerd berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.

Akan tetapi permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual-beli konvensional akan kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum yang ada dalam KUHPerd dan KUHD sudah cukup relevan dan akomodatif dengan hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur tentang e-commerce.

Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas e-commerce, antara lain:

1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;

2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;

3. obyek transaksi yang diperjualbelikan;

4. mekanisme peralihan hak;

5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;

6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti .

7. mekanisme penyelesaian sengketa;

8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.

Sebagai fenomena yang relatif baru, bertransaksi bisnis melalui internet memang menawarkan kemudahan . Namun memanfaatkan internet sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan terencana agar berbagai implikasi yang menyertainya dapat dikenali dan diatasi.

E-commerce terdiri dari dua kategori business to business e-commerce dan business to consumer e-commerce.

§ § Business to consumer e-commerce berhubungan dengan customer life cycle dari awareness sebuah produk pada prospek costumer sampai dengan order dan pembayaran atau juga sampai dengan pelayanan dan dukungan kepada customer. Alat yang digunakan dalam cycle ini adalah business to customer web site.

§ § Business to business e-commerce melibatkan cycle dari awareness, riset produk, pembandingan, pemilihan supplier sourching, transaksi fulfillment, post sales support. Alat yang berperan adalah EDI, dan business to business web site (Komputer No. 175 edisi Juli 2000: 4).

Implementasi e-commerce secara efektif adalah mentransformasikan paradigma perdagangan fisik ke perdaganga virtual, yang memangkas middle man dan lebih menekankan kepada nilai kolaborasi melalui networking antara supplier, retailler, konsumen, bank, transportasi, asuransi, dan pihak terkait lainnya (Utoyo, 1999: 5).

Segmen business to business e-commerce memang lebih mendominasi pasar karena nilai transaksinya yang tinggi, namun level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar tersendiri yang potensial.

Dalam business to consumer e-commerce, konsumen memiliki bargaining position yang lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional karena konsumen memperoleh informasi yang beragam dan mendetail. Melalui internet konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai toko dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan beberapa toko juga memberikan fasilitas pelayanan track and trace yang memungkinkan konsumen untuk melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya.

Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien.

Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Dengan metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung dan tidak melihat secara langsung barang yang diinginkan bisa menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen. Sebagai contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. Masalah ini penting sekali diperhatikan karena terbukti mulai bermunculan kasus-kasus dalam e-commerce yang berkaitan dengan keamanan transaksi, mulai dari pembajakan kartu kredit, stock exchange fraud, banking fraud, hak atas kekayaan intelektual, akses ilegal ke system informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan pencurian data.

Beragam kasus-kasus yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu sangat riskan bagi para pihak terutama konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen. Apabila hal tersebut terabaikan maka bisa dipastikan akan terjadi pergeseran efektivitas transaksi e-commerce dari falsafah efisiensi menuju arah ketidakpastian yang akan menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce.

Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dalam e-commerce masih rentan. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam e-commerce. Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui internet tidak cukup tercover dalam UUPK tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna internet khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.

Penulis adalah mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.

Jl. Kauman GM I No. 74 Yogyakarta – 55122.

e-mail: esthermagfirah@yahoo.com

estherdm@plasa.com

Minggu, 03 Februari 2008

MAKALAH KEKERASAN TERHADAP RUMAH TANGGA

MAKALAH
KEKERASAN TERHADAP RUMAH TANGGA
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

AKHIR-akhir ini, kasus-kasus kekerasan (termasuk pembunuhan) dalam rumah tangga di Jakarta dan sekitarnya cenderung meningkat. Dalam pengamatan Kompas terhadap kasus-kasus sebelumnya, yang sering terjadi adalah pembunuhan oleh suami terhadap istri. Namun, bukan berarti tidak ada kasus istri yang membunuh suaminya. karena di dalam rumah tangga terjadi kepadatan interaksi yang tinggi. Kepadatan interaksi itu menyebabkan timbulnya pelembagaan kekerasan yang biasanya bermula dari kekecewaan dari kedua pihak KDRT masih ada dan masih meningkat, walaupun UU No. 23/2004 sudah berusia 10 bulan.
Hal ini diketahui berdasarkan kasus-kasus yang masuk ke hotline kami. Untuk itu, setiap orang harus menghapuskan KDRT yang dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, dan berasaskan nondiskriminasi, serta perlindungan korban," kata dosen Fakultas Hukum Unpad, Prof.Dr. Komariah Supardjaya, S.H., M.H., pada seminar Pemantapan Peran Muslimat NU Dalam Menyosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, belum lama ini di Bandung.
B. RUMUSAN MASALAH
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami dan mempelajari KDRT,maka adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Apa pengertian KDRT
2. Siapa saja yang terlibat di dalamnya
3. Apasa bentuk KDRT
4. Apa factor penterjadinya KDRT

BAB II
ISI
A. KEKERASAN TERHADAP RUMAH TANGGA
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal1ayat1).

Kunci persoalannya adalah tidak berjalannya komunikasi secara efektif sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma-Red) dan prejudice (prasangka-Red). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Bisa saja intervensi itu dari significant others.Significant others itu tidak selalu orangtua atau keluarga sendiri, tetapi bisa juga tetangga. Tergantung sejauh mana dia punya keterikatan kepada orang itu, dan itu tergantung dari banyak sedikitnya interaksi di antara mereka. , pada dasarnya bangsa Indonesia menjaga tata krama dan sopan santun. Tetapi, perkembangan ini tidak seiring dengan proses modernisasi ekonomi dan fisik. Soal- soal sosial ditinggalkan, lembaga-lembaga sosial tradisional lama sekali tidak diajak dalam proses pembangunan.
Akibatnya, lembaga-lembaga sosial tradisional sudah lama tak mampu menjadi peredam konflik. Semua masalah dituntaskan lembaga hukum, tetapi ternyata penuntasan oleh lembaga hukum kita tidak rasional, tidak modern, dan penuh nuansa korupsi. Lembaga hukum kita kan corrupt. Itu yang membuat orang tidak percaya pada lembaga hukum sehingga semua masalah akhirnya diselesaikan sendiri.SIni semua terjadi karena faktor frustrasi sosial. Dalam hal ini, frustrasi dalam keluarga sebagai unit atau sistem sosial terkecil di masyarakat. (ADI PRINANT)
KRIMINOLOG Universitas Indonesia (UI) Erlangga Masdiana berpendapat, kekerasan itu sangat dipengaruhi ideologi dan pemahaman budaya masyarakat. "Anggapan yang lazim dipercaya menyatakan, perempuan adalah orang nomor dua dalam rumah tangga sehingga bisa diperlakukan dengan cara apa pun," ujar Erlangga dalam sebuah perbincangan dengan Kompas, Jumat (9/7) lalu.
B. LINGKUP RUMAH TANGGA
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
· Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
· Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
· Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut(PekerjaRumahTangga).

C. BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat(Pasal6).
2.Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaanpsikisberatpadaseseorang(pasal7)
3. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasanseksualmeliputi(pasal8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkuprumahtanggatersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
D. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN TERHADAP RUMAH TANGGA
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi karena banyak faktor., faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya-Red), di mana perempuan cenderung dipersepsi sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa sajaAtau, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun anak harus menuruti apa pun kehendak orangtua.
Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orangtua, tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun.Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima.Jadi, persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja mendebat suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul.
Selain faktir di atas adapun bentuk ketidak adilan gender diantaranya yaitu :
a. Marginalisasi
b. Stereo Type
c. Kekerasan
d. Diskriminasi/subordinasi
e. Beban gendar yaitu fungsi wanita sangatlah penting dapat dilihat dari pekerajaanya dalam rumah tangga mampu menyelesaikan banyak tugas dalam waktu yang bersamaan

E. GERAKAN FEMINISME
Gerakan feminisme adalah suatu kesadaran atas terjadinya penindasan yang menimpa kaum perempuan seluruh dunia dan secara sadar untuk melaukan aksi atau tindakan untuk mengubah itu semua. Agak sulit gerakan feminisme dapat mengubah tatanan nilai yang sudah ada di masyarakat kita. Karena budaya lama itu sudah mendarah daging atau internalized di dalam diri mereka. Mungkin yang bisa mengubah hanya dengan pendidikan yang betul-betul menanamkan pengertian bahwa perempuan dan laki-laki sama derajatnya.
Dalam rumah tangga, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah persoalan fungsi. Dan fungsi masing-masing itu bisa ditukar, kecuali fungsi kodrati, seperti hamil dan menyusui. Tetapi, untuk fungsi mengasuh anak, misalnya, bisa dipertukarkan sehingga istri seharusnya bisa mendebat sesuatu kalau, misalnya, suami bersikap tidak proporsional.

F.UU PKDRT YANG MENGATUR MENGENAI HAK-HAK KORBAN
Tentu.Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
G.UU PKDRT YANG MENGATUR MENGENAI HAK-HAK KORBAN
Tentu.Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

BAB III
PENUTUP
SOLUSI UNTUK MEMINIMALISIRKAN KDRT
Solusi yang tepat untuk meminimalisirkan terjadinya KDRT Itu bisa berubah jika ada modernisasi. Yang dimaksud di sini bukan modernisasi gaya hidup saja, tetapi yang lebih substantif. Misalnya dengan perubahan nilai-nilai kemanusiaan, pola pikir, wawasan pengetahuan, dan aspek-aspek penting lainnya.Tentu ada faktor eksternal yang memengaruhi, misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan perempuan sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh laki-laki, itu artinya ada proses penanaman pola pikir. Karena tampilan-tampilan di televisi, misalnya, menjadi pembenaran bahwa laki-laki bisa melakukan kekerasan.
Bisa saja memang penyebabnya faktor ekonomi. Kalau ada masalah ekonomi dan tidak ada kesepakatan, lantas tidak ada komunikasi yang dapat melahirkan jalan keluar, bisa saja terjadi kekerasan di dalam rumah tangga.Kuncinya memang pada komunikasi. Kalau tidak ada komunikasi, lahir stereotyping dan prejudice yang besar di antara kedua pihak, lebih besar daripada keyakinan untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Jadi besar kemungkinan saling keterbukaan dalam rumah tangga merupakan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Dalam artian saling percaya antara anggota keluarga dalam segala hal.






DAFTAR PUSTAKA

Achmad Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001.